Rabu, 31 Desember 2008

HUKUM NAKER

KASUS POSISI
Jawa Barat
Karyawan PT Dirgantara Indonesia Tolak PHK

TEMPO Interaktif, Jakarta: Karyawan PT Dirgantara Indonesia menolak pemutusan hubungan kerja, meskipun sudah ditawari mengisi formulir seleksi ulang karyawan dan uang pesangon. Penolakan karyawan itu disampaikan saat mereka berorasi dalam aksi unjuk rasa yang berlangsung Rabu, (15/10) di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Barat di Jalan Diponegoro, Bandung. Selain itu, menurut AM Bone, Sekretaris Serikat Pekerja Forum Komunikasi Karyawan (SP FKK) PT DI yang memimpin aksi tersebut, direktur utama juga dinilai telah melakukan pembangkangan terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang mencabut surat keputusan (SKEP) perumahan karyawan sebelum ada putusan hukum tetap.

Oleh karena itu Bone menghimbau kepada seluruh anggota serikat pekerja agar tidak menggunakan haknya dengan menandatangani penawaran tersebut karena hingga detik ini belum ada proses penyelesaian di tingkat Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P).

Menurut Bone, pihak direksi telah menyebarkan surat pada tanggal 6 Oktober 2003 tentang pemberitahuan dan penawaran kepada karyawan PT DI yang tidak ikut proses seleksi ulang. Surat tersebut berisi tawaran uang pesangon bagi yang tidak bersedia mengikuti seleksi ulang, yang diberikan mulai 1 Desember 2003.

Sementara itu Direktur Operasional Budi Wuraskito, membenarkan telah mengirimkan sekitar 3.900 lembar formulir surat pemberitahuan tersebut sejak pekan lalu. Yang sudah sekitar sepuluh orang.

Menanggapi permintaan karyawan untuk menyelesaikan masalah tersebut di tingkat P4P, menurut Budi, pihaknya sudah memberitahukan melalui surat yang dikirim beberapa hari yang lalu untuk menyelesaikan persoalan tersebut bersama pihak-pihak yang terkait. Namun demikian pihak Departemen Tenaga Kerja hingga kini belum merespon surat tersebut.





1. Alasan PHK PT DI
Pada dasarnya alasan utama dari Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) PT. Dirgantara Indonesia (DI) adalah bahwa Pemerintah sudah tidak sanggup lagi membiayai semua operasional perusahaan misalnya pembelian bahan baku pesawat, dan pembelian barang-barang yang diperlukan perusahaan. Dengan tidak adanya kemampuan pemerintah ini, maka PT. DI tidak sanggup untuk menyelesaikan proyek-proyek yang sudah disepakati dalam pembuatan pesawat yang bernilai besar misalnya pesanan negara Pakistan, Thailand, Malaysia, dan lain-lain. Maka direksi PT. DI mengambil keputusan dengan merumahkan semua karyawan sebanyak 9.600 karyawannya.
Banyak pihak menyatakan perumahan karyawan ini ilegal, karena menganggap perumahan (PHK) ini tidak sesuai prosedur, sebab belum ada pertemuan bipartit antara serikat pekerja dan direksi. Maka dengan ini bertentangan dengan Pasal 151 ayat (2) UU No.13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa jika segala upaya telah dilakukan, akan tetapi PHK tidak dapat dielakkan lagi. Maka maksud PHK tersebut harus dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja atau dengan pekerja apabila pekerja yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja . Bahkan alasan PHK yang dijadikan alasan oleh direksi PT DI tidak mendasar sebab dalam ketentuan Pasal 153 UU No.13 Tahun 2003 tidak ada ketentuan yang mengharuskan perusahaan memutuskan hubungan kerja dengan alasan yang tidak terdapat dalam Pasal tersebut dalam hal inipun tidak ada ketentuan dalam UU ketenagakerjaan tentang istilah perumahan karyawan, maka dengan alasan ini dapat dikatakan bahwa alasan PHK PT.DI tidak sesuai dengan UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
2. Analisis Kasus
Dalam kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap 9.600 karyawan PT. Dirgantara Indonesia (DI) yang terjadi pada tahun 2003 yang lalu bisa dikatakan pelanggaran HAM, sebab dalam hal ini proses tersebut dimulai dengan pengrumahan secara mendadak dan tidak disosialisasikan kepada karyawannya, selain itu juga tidak dikonsultasikan dengan komisaris. Dalam hal ini seharusnya ada dua hal yang mesti diperhatikan oleh Pemerintah. Yaitu masalah hukum berkaitan dengan pemecatan dan masa depan PT. DI.
Dalam masalah hukum misalnya, direksi dalam melakukan pelanggaran HAM dalam melakukan PHK karyawan sebab dilakukan tanpa dikonsultansikan terlebih dahulu dengan komisasris, sebab PHK massal ini telah mengabaikan hak-hak pekerja yang terdapat dalam UU No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan serta telah melanggar perjanjian kerja yang telah disepakati dahulu antara karyawan dengan direksi PT. DI. Selain itu akibat PHK itu juga muncul masalah-masalah kemanusiaan, ekonomi, sosial, keamanan, dan lain-lain yang akan dihadapi pekerja dan keluarganya. Hal ini terlihat dari konflik horizontal yang terjadi antara pekerja dengan jajaran manajemen. Akibat perselisihanitu, terjadi pengahancuran barang-barang milik karyawan yang berbeda pendapat. Sedang mengenai masa depan PT. DI sebaiknya Pemerintah mempertahankan perusahan penerbangan tersebut karena ini adalah aset nasional dan proyek yang strategis bagi masa depan bangsa.
Sebenarnya direktur PT. DI telah menerima putusan MA yang menolak kasasi Serikat Pekerja Forum Komunikasi Karyawan (SPFKK) PT. DI SPF-KK sebelumnya meminta MA agar membatalkan putusan panitia penyelesaian perburuhan pusat (P5) tentang PHK karyawan PT. DI. Dengan keputusan ini, maka PT DI telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, untuk memberlakukan PHK yang dilakukan terhadap karyawannya.
3. Fakta Hukum
SPF-KK menemukan pelangggaran hukum yang dilakukan oleh Direksi PT. DI berkaitan dengan PHK 6.600 karyawannya misalnya telah terjadi pelanggaran prosedur perumahan (lock out) dan pelanggaran hukum lain akibat perumahan tadi.
pelanggaran terhadap UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan khususnya pada Pasal 146 sampai 149 tentang penutupan perusahaan.
Arif mencontohkan pelanggaran terhadap UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Tenaga Kerja khususnya pada Pasal 146 sampai 149 tentang Penutupan Perusahaan. Bahwa pencabutan obyek sengketa in litis merupakan pergantian baju saja sebelum perkara ini diputus ( mengutip putusan PTUN Bandung), hal ini seharusnya tidak perlu terjadi, melainkan seharusnya tergugat (Direksi) PT. DI menunggu putusan perkara ini yang nantinya melaksanakan sesuai dengan putusan ini.akan tetapi hal ini tidak dilaksanakan direksi, bahkan menimbulkan isu baru yang dikualifisir suatu perbuatan yang menunjukkan suatu arogansi pelanggaran lain yaitu terhadap UU No.21 tahun 2000 tentang Serikat pekerja pada pasal 28 (C) tentang perlindungan hak berorganisasi. Dalam hal ini direksi telah melanggar pasal tersebut
tentang hak berorganisasi. Sebab dalam hal ini pengurus SP-FKK tidak boleh menggunakan secretariat dan beraktifitas di dalam perusahaan.
Sebenarya dalam hal ini SP-FKK dapat membantu program yang akan dijalankan oleh perusahaan dengan ikut mencarikan dan memberikan usulan alternatif penyelesaian yang terbaik untuk semua pihak. Selain itu SP-FKK juga menyebutkan ada dua pelanggaran yang lain yaitu terhadap UU No. 19 Tahun 2003 tantang BUMN dan PP No.12 Tahun 1998 tentang perusahaan perseroaan.dari fakta hukum ini SPF-KK antara lain menuntut agar P4P diharapkan untuk tidak mengijikan PHK sebelum seluruh pelanggaran ditindak, selain itu pemerintah seharusnya menindak direksi yang secara nyata telah melanggar hukum dan peraturan perundangan. Kemudian akibat kebijakan direksi yang salah dan banyak sekali terjadi pelanggaran hukum yang dibiarkan pemerintah, maka menurut SP-FKK pemerintah juga turut andil dalam kesalahan dan pelanggaran tersebut, sehingga mereka mendesak pemerintah agar menyatakan tidak sah PHK tersebut sehingga mereka bisa bekerja kembali, atau paling tidak menunda PHK tersebut.
4. Tanggapan Karyawan PT DI atas PHK
Menanggapi keputusan MA tersebut (tentang sahnya PHK), sebagian besar karyawan PT. DI menyatakan bahwa tetap pada pendirian mereka bahwa PHK itu merupakan pelanggaran HAM, dan pelanggaran UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Para karyawan bukan hanya mendapatkan prosedur pemutusan hubungan kerja tidak manusiawi, akan tetapi juga konpensasi dana pensiun secara penuh sesuai PP No.8 Tahun 1981 tentang Pengupahan. Menurut karyawan PHK ini tidak memalui pengkajian yang matang, maka mereka menolak prosedur PHK yang dilakukan direksi dan menuntut melalui jalur hukum, meskipun dalam hal ini karyawan kalah dan PHK tetap berjalan. Bahkan setelah putusan PHK ini sah berdasarkan hukum dan sudah menpunyai kekuatan hukum yang tetap pun, karyawan tidak mendapatkan pesangnya secara penuh, terutama konpensasi pensiun, ada yang kurang 75%, ada yang 25% atau 10% akan tetapi rata-rata kekurangannya adalah 50% jadi mereka dalam hal ini tetap menuntut agar hak-hak mereka dipenuhi oleh perusahanan, sehingga mereka dapat menjamin kehidupan keluarga mereka untuk kehidupan kesehariannya. Karyawan mengakui memang pada saat ini perusahaan sedang merugi akan tetapi bukan berarti perusahaan mesti melakukan PHK besar-besaran terhadap karyawannya. Masih banyak cara lain yang bisa dilakukan tanpa mengorbankan karyawan seperti meminimalisasi pengeluaran-pengeluaran perusahaan yang tidak perlu, dan yang paling penting adalah promosi besar-besaran pemerintah terhadap negara lain agar membeli pesawat terbang hasil buatan PT DI, serta kucuran dana yang besar ke perusahaan agar proyek-proyek yang sudak ada dapat dilaksanakan, toh nantinya dana yang dialirkan pemerintah akan terganti pada saat perusahaan menjual pesawat-pesawatnya ke negara lain, maka dengan ini mungkin PHK tidak perlu dilakukan, dan bahkan perusahaan akan mendapat untung yang bisa menutup pengeluaran besar perusahan selama ini.
5. Tanggapan Direksi terhaadap PHK PT DI
Pihak direksi menganggap bahwa seluruh hak dari karyawan telah dipenuhi PT. DI. Dalam hal ini PT. DI sudah memenuhi kewajibannya setelah PHK yaitu membayar pesangon, pesangon dibayarkan yaitu dua kali dari ketentuan UU No.13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, kompensasi pensiun, dan jaminan hari tua, berdasarka rumusan yang sesuai dengan Undang-Undang tersebut. Menurut direksi PT. DI bila rumusan mengenai pembayaran pesangon tidak repat, maka MA harus memberikan rumusan baku berapa jumlah jumlah pesangon yang harus dibayarkan ke karyawan, sebab sekarang ini rumusannya memang tidak ada, lagipula perusahaan setelah memPHK-kan karyawannya beberapa waktu kemudian ada seratusan lebih karyawan yang diterik lagi oleh perusahaan untuk menjadi karyawan kontrak. Karyawan tersebut direkrut sesuai dengan kompetensinya dan kebutuhan proyek serta karyawan inipun bisa bertambah sesuai dengan volume bisnis perusahaan.
Sehingga dengan pertimbangan-pertimbangan ini direksi PT. DI sangat menentang keras mendapat dari mantan karyawan yang menyatakan bahwa dalam proses PHK yang dilakukan tidak sesuai prosedur, sebab dalam beberapa hal direksi telah memenuhu hak-hak karyawan dan bahkan memperkerjakan mantan karyawannya lagi menjadi pekerja kontrakan, selain itu juga didukung putusan MA yang memenangkan Direksi untuk dalam hal ini berhak dan sah memperhentikan sebagian karyawannya, dikarenakan alasan-alasan yang telah diajukan oleh perusahaan.
6. Titik temu antara Karyawan dan Direksi PT. DI
Akhirnya setelah terjadi banyak perdebatan dalam pertemuan-pertemuan antara direksi mantan mantan karyawan, dan serikat pekerja karyawan dalam hal ini diwakili oleh SP-FKK terjadi banyak sekali ditemukan titi temu diantara kedua belah pihak. Dalam hal ini sebagian besar karyawan anggota dari SPF-KK PT. DI meminta surat pemutusan kerja di kantor PT DI pasalnya karyawan menyadari akan sangat sulit untuk benar-benar mendapatkan haknya secara utuh diberikan oleh perusahaan, mereka menyadari sulitnya menghadapi masalah administrasi yang akan membelit mereka, sehingga mereka pasrah dengan uang pesangon yang sekarang sudah disepakati dalam pertemuan direksi yaitu dua kali gaji ditambah dana pensiun yang akan dibayar perusahaan secara diangsur, walaupun dalam hati kecil meraka masih merasa keberatan dan menginginkan hak meraka dibayar utuh. Selain itu karyawan juga sudah merasa senang dengan adanya penarikan lagi beberapa mantan karyawan PT. DI sebagai pekerja kontrakan sebab meskipun itu hanya dengan sistem kontrak itu sudah sangat menguragi beban meraka dalam menghidupi keluarganya. Sedangkan bagi karyawan yang tidak dipekerjakan lagi mereka akan mendapatkan bayaran 25-100 juta bagi karyawan yang sudah bekerja minimal 10 tahun atau yang sudah mempunyai jabatan struktural, sehingga mereka sudah merasa senang dengan adanya pesangon ini. Meskipun tidak semua karyawan setuju dengan putusan ini, dalam hal ini bagi karyawan yang masa kerjanya belum lama di PT. DI sebab mereka tidak mendapatkan pesangon yang banyak, akan tetapi kesepakatan ini sudah bisa dikatakan adil baik dari segi karyawan maupu direksi. Sampai sejauh ini perusahaan telah mempersiapkan dana sebesar RP.440 milyar untuk pesangon karyawan yang akan dibayarkan secara bertahap.
7. Penutup
Apabila kita mau jujur sebenarnay keputusan PT.DI untuk memPHK kan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar