Rabu, 31 Desember 2008

Posisi Kasus

Pada tanggal 10 Februari 1999 di Istana Merdeka diadakan pertemuan terbatas antara Presiden BJ. Habibie, Sekretaris Negara Akbar Tandjung, Rahadi Ramelan sebagai pejabat sementara Kepala badan Usaha Logistik (Bulog) dan Haryono Suyono selaku Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat dan Pengentasan Kemiskirian Kesra dan Taskin yang membahas pemberian sembilan bahan pokok (Sembako) kepada masyarakat miskin dalam mengatasi krisis pangan. Rahadi Ramelan melaporkan kepada presiden BJ. Habibie bahwa ada dana nonbudgeter yang dapat digunakan untuk membeli sembako, dan presiden menyetujui penggunaan uang tersebut untuk membeli sembako bagi masyarakat miskin sebesar Rp 40.000.000.000,00, sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku dan pelaksanaannya di bawah koordinasi Akbar Tandjung selaku Sekretaris Negara.

Pada tanggal 15 Februari 1999, terdakwa H. Dadang Sukandar selaku Ketua Yayasan Islam Raudatul Jannah, mengajukan surat permohonan pengadaan dan penyaluran sembako kepada Haryono Suyono selaku menteri Koordinator Kesra dan Taskin dengan surat Nomor 03/DD.YRJ/IIl/1999 tanggal 15 Februari 1999 agar ia ditunjuk sebagai rekanan melaksanakan pembelian dan pembagian sembako kepada masyarakat miskin. Haryono Suyono memberi disposisi "Sesuai petunjuk Bapak Presiden, tolong pertimbangkan sesuai syarat dan peraturan yang berlaku" Akbar Tandjung meminta H. Dadang Sukandar agar datang dua atau tiga hari lagi dengan membawa mitra kerja yang berpengalaman dalam pengadaan dan penyaluran sembako.

Beberapa hari kemudian, H. Dadang Sukandar kembali menemui Akbar Tandjung dengan membawa Winfried Simatupang selaku mitra kerjanya. Akbar Tandjung meminta kepada kedua orang itu untuk melakukan pemaparan atau menjelaskan mengenai kemampuan dan pengalaman serta cara-cara pembelian dan pembagian sembako yang akan dilaksanakan.

Kedua orang itu melakukan pemaparan atau penjelasan dihadapan Akbar Tandjung yang dihadiri oleh saksi Ir. Mahdar, staf Menteri Seketaris Negara dan Ibnu Astaman, pengurus Yayasan Islam Raudatul Jannah, Akbar Tandjung menyetujui sistem pembelian dan pembagian Sembako tersebut.

Pada tanggal 1 Maret 1999, Rahardi Ramelan membuat nota kepada Drs. Ruskandar selaku deputi keuangan Bulog dan Drs. Jusnadi Suwarta selaku Kepala Biro Pembiayaan Bulog untuk mengeluarkan uang sebesar Rp20.000.000.000,00. Pada tanggal 2 Maret 1999 Drs. Ruskandar, M.BA. dan Drs. Jusnadi Suwarta membuat dan menandatangani dua lembar cek, masing-masing:

  • Cek Bank Bukopin Nomor 01.AA.447790 tanggal 2 Maret 1999 dengan nilai Rp 10.000.000.000,00;
  • Cek Bank Exim Nomor CC.821521 tanggal 2 Maret 1999 senilai Rp 10.000.000.000,00.

Hari itu juga atas perintah Rahadi Ramelan, Drs. Ruskandar, M.B.A. menyerahkan kepada Akbar Tandjung di kantor Sekretaris Negara, yang selanjutnya diserahkan kepada H. Dadang Sukandar.

Pada tanggal 19 April 1999, saksi Prof. DR. Ir. Rahadi Ramelan, M.sc membuat memo/nota kepada saksi Drs. Ruskandar, M.B.A. selaku deputi keuangan Bulog sebesar Rp.20.000.000.000.00, atas dasar nota memo pada tanggal 20 April 1999, saksi Drs. Ruskandar M.B.A. dan saksi Drs. Jusnadi Suwarta membuat dan menandatangani delapan lembar cek, masing-masing:

  • Cek Bank Bukopin Nomor: 01.AA.447708 tanggal 20 April 1999 dengan nilai nominal Rp2.000.000.000,00.
  • Cek Bank Bukopin Nomor: 01.AA.447709 tanggal 20 April 1999 dengan nilai nominal Rp2.000.000.000,00.
  • Cek Bank Bukopin Nomor: 01.AA.447767 tanggal 2b April 1999 dengan nilai nominal Rp3.000.000.000,00.
  • Cek Bank Bukopin Nomor: 01.AA.447768 tanggal 20 April 1999 dengan nilai nominal Rp3.000.000.000,00.
  • Cek Bank Bukopin Nomor: 01 AA.447769 tanggal 20 April 1999 dengan nilai nominal Rp3.000.000.000,00.
  • Cek Bank Bukopin Nomor: 01, AA. 447770 tanggal 20 April 1999 dengan nilai nominal Rp3.000.000.000,00.
  • Cek Bank Bukopin Nomor: CC.828226 tanggal 20 April dengan nilai nominal Rp2.000.000.000,00.

Setelah membuat dan menandatangani ke delapan lembar cek senilai Rp.20.000.000.000,00, lalu saksi Drs, Ruskandar, M.B.A. melaporkan kepada saksi Prof. DR. Ir. Rahadi Ramelan, M.sc, kemudian saksi Prof. Dr. Ir. Rahadi Ramelan, M.sc. meminta saksi Drs. Ruskandar, M.B.A. Bersama saksi Drs. Jusnadi Suwarta menyerahkan delapan lembar cek tersebut kepada terdakwa I: Ir. Akbar Tandjung, Ir. Akbar Tandjung sendiri menerima cek-cek tersebut di kantor Sekretariat Negara. Selanjutnya kedelapan lembar cek senilai Rp20.000.000.000,00 tersebut diserahkan kepada terdakwa II.: H. Dadang Sukandar.

Penerimaan cek-cek yang seluruhnya senilai Rp.40.000.000.000,00 yang diterima oleh Ir. Akbar Tandjung tersebut tanpa membuat berita acara serah terima atau tanpa tanda terima, penyerahannya kepada terdakwa II: H. Dadang Sukandar dilakukan terdakwa I: Ir. Akbar Tandjung tanpa bukti-bukti tertulis baik berupa tanda terima maupun kontrak/perjanjian kerja penggunaan uang Rp.40.000.000.000,00.

Terdakwa II: H. Dadang Sukandar selanjutnya menyerahkan uang hasil pencairan cek-cek tersebut kepada terdakwa III: Winfned Simatupang, selaku mitra kerja terdakwa II: H. Dadang Sukandar, untuk melakukan pembelian sembako dan membagikan kepada rakyat miskin, namun kenyataannya pembelian dan pembagian kepada masyarakat miskin tersebut tidak pernah terlaksana.

Tuntutan Penuntut Umum

Dari rangkaian perbuatan terdakwa-terdakwa tersebut penuntut umum menganggap telah muenguntungkan terdakwa I: Ir. Akbar Tandjung, terdakwa II: H. Dadang Sukandar, dan terdakwa III: Winfried Simatupang atau suatu badan, yaitu Yayasan Raudatul Jannah atau PT Bintang Laut Timur Baru, yang secara langsung maupun tidak langsung telah merugikan keuangan negara dalam hal ini keuangan Bulok sebesar Rp.40.000.000.000,00 atau setidak-tidaknya dalam jumlah lain sekitar jumlah tersebut.

Penuntut umum mendakwa sebagai primair Pasal 1 ayat (1) sub b jo. Pasal 28 jo. Pasal 34 c Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 jo. Pasal 43 A UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke I jo. Pasal 65 KUHP. Sebagai dakwaan subsidiair Pasal 1 ayat (1) sub a jo. Pasal 28 jo. Pasal 34c Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 jo. Pasal 43A Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke I jo. Pasal 65 KUHP.

Analisis Kasus

Sebagai tanggapan atas surat dakwaan tersebut ialah penyusunan dakwaan Primair - Subsidiair secara terbalik, yaitu Pasal 1 ayat (1) sub. B sebagai dakwaan Primair, sedangkan Pasal 1 ayat (1) sub. A sebagai dakwaan subsidiair yang menyimpang dari kebiasaan penyusunan surat dakwaan.

Berdasarkan Pasal 63 ayat (1) KUHP tentang Concursus, jika satu feit (perbuatan) melanggar dua ketentuan pidana, satu saja yang diterapkan. Jika berbeda ancaman pidananya, yang diterapkan yang terberat pidananya. Ini disebut Concursus
Idealis. Memang berdasarkan Pasal 28 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971, kedua feiten (perbuatan) diancam dengan pidana yang sama, yaitu maksimum pidana penjara seumur hidup dan atau denda maksimum 30 juta rupiah, tetapi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 menentukan bahwa ancaman pidana delik yang tercantum dalam Pasal 2 (hasil revisi Pasal 1 ayat (1) sub. a) sampai pidana mati "dalam keadaan tertentu," sedangkan ancaman pidana delik yang tercantum Pasal 3 (hasil revisi Pasal 1 ayat (1) sub. b) hanya pidana penjara seumur hidup (tidak ada pidana mati).

Kerancuan lain ialah dicantumkannya Pasal 65 KUHP (concursus realis) yang berarti para terdakwa didakwa melakukan lebih dari satu delik padahal dalam dakwaan hanya satu delik, yaitu Pasal 1 ayat (1) sub. b. atau sub. a Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971.

Untuk menghapus kekeliruan tersebut, majelis hakim Pengadilan Negeri menganggap pasal tersebut tidak tercantum dan "mengganti" dengan Pasal 64 KUHP atau perbuatan berlanjut. Pencantuman Pasal 64 KUHP atau perbuatan berlanjut (Voortgezette Handeling) ini pun tidak tepat karena penyerahan uang ke H. Dadang Sukandar dan Winfried Simatupang hanya dua kali saja, masing-masing dua puluh miliar rupiah.

Perbuatan berlanjut artinya suatu niat, satu jenis perbuatan, antara perbuatan yang satu dengan yang lain berlangsung tidak terlalu lama. Dengan dilakukannya perbuatan pertama, sudah terjadi delik. Jadi, perbuatan berlanjut Voortgezette Handeling sejenis dengan Concursus Realis, tetapi sistem pidananya selaras dengan Concursus Idealis (hanya satu pidana).

Konstruksi yang paling sulit dibuktikan ialah mereka bertiga melakukan kerja sama berdasarkan medeplegen (ikut serta) yang tercantum di dalam Pasal 55 ayat (1) I KUHP dalam melakukan perbuatan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan (Undang-Undang No. 31 Tahun 1991, Korporasi) dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara. Mereka bertiga bersama-sama menguntungkan orang lain, tetapi siapa orang lain itu? Pertama, karena H. Dadang Sukandar dan Winfried Simatupang adalah swasta murni yang tidak mempunyai jabatan atau kedudukan yang disalahgunakan, yang kedua, bagaimana membuktikan berapa bagian masing-masing yang diambil dari Rp.40.000.000.000,00 tersebut. Kemungkinan kedua ialah siapa yang diuntungkan oleh mereka secara bersama-sama?

Kelihatan dakwaan penuntut umum bermaksud, Akbar Tandjung menguntungkan orang lain, yaitu H. Dadang Sukandar dan Winfried Simatupang dan pada waktu yang bersamaan kedua orang tersebut menguntungkan diri sendiri, lalu mereka melakukannya secara bersama-sama (medeplegen). Konstruksi seperti ini menurut Mahkamah Agung tidak logis. Jika Akbar Tandjung menguntungkan kedua orang tersebut, kedua orang itu tidak dipidana, padahal baik Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tinggi memidana kedua orang tersebut. Sebaliknya jika H. Dadang Sukandar dan Winfried Simatupang menguntungkan diri sendiri, bukan Akbar Tandjung yang menguntungkan mereka. Jelas pikiran inilah yang ditempuh oleh Mahkamah Agung sehingga Akbar Tandjung diputus bebas, sebaliknya kedua orang tersebut dipidana berdasarkan dakwaan subsidiair, yaitu memperkaya diri sendiri secara bersama-sama (berdua).

Kelihatannya, Mahkamah Agung ingin menghindari bagian inti delik "menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang padanya karena jabatan atau kedudukan" yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) sub b (dakwaan primair) yang kedua terdakwa (Dadang Sukandar dan Winfried Simatupang tidak mempunyai jabatan atau kedudukan yang dapat disalahgunakan).

Putusan Pengadilan Negeri

Pengadilan Negeri menjatuhkan pidana kepada para terdakwa dengan alasan antara lain:

1.     Bana Non-Budgeter Bulog adalah uang negara (pendapat Hatomi, Drs. Edy Subagya sebagai saksi ahli);

2.     Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1994 tidak dapat diberlakukan secara mutlak;

3.     Keputusan Presiden dapat dipedomani dan diterapkan;

4.     Harus dipertanggungjawabkan peruntukannya;

5.     Tidak membentuk panitia atau tim, jadi tidak mempunyai sarana internal untuk mengontrol pertanggungjawabannya keuangan negara sebesar Rp.40.000.000.000,00;

6.     Menyerahkan begitu saja kepada Ketua Yayasan Rudatul Jannah in casu terdakwa H. Dadang Sukandar, lalu menyerahkan kepada terdakwa III Winfried Simatupang melalui Dadi Suryadi tercermin suatu sikap yang kurang cermat;

7.    Kekurangcermatan Akbar Tandjung tersebut bukan hanya bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum pengelolaan keuangan negara, tetapi juga justru memberi peluang banyak kepada Yayasan Raudatul Jannah menyalahgunakan keuangan negara;

8.     Kengan tidak tergambarnya suatu mekanisme koordinasi kerja yang terpadu yang baik, perbuatan materiel terdakwa I menurut Penuntut Umum bertentangan dengan asas-asas kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian dalam melakukan pengelolaan negara;

9.     Bahwa dengan terbuktinya terdakwa melakukan perbuatan yang bertentangan dengan asas-asas kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian sejalan atau pararel dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, yang berarti melanggar asas kecermatan. Jadi, Pengadilan Negeri berpendapat bahwa suatu sikap yang kurang cermat, kurang teliti, tidak mempunyai sarana intern untuk mengontrol, merupakan perbuatan "menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya, karena jabatan atau kedudukan" suatu bagian inti (bestanddeel) delik dalam Pasal 1 ayat (1) sub. b Undang-Undang No. 3 Tahun 1971.

Analisi Kasus

Ini berarti bahwa, baik Penuntut Umum maupun Majelis Hakim Pengadilan Negeri, menganggap bahwa perbuatan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan "dapat diakukan dengan kelalaian (Culpa), padahal perbuatan itu harus dilakukan dengan "sengaja" kendatipun "sengaja" dalam arti "sengaja kemungkinan akan terjadi" (Dolus Eventualis)."

Kalaupun Majelis Hakim menganggap perbuatan tersebut dapat dilakukan dengan pengabaian (omission) atau Nalaten sesungguhnya sulit dibuat konstruksi dan dibuktikan bagaimana suatu penyalahgunaan wewenang dilakukan dengan cara Omission atau Nalaten atau membiarkan.

Penuntut Umum menuntut agar Majelis Pengadilan Negeri menyatakan bahwa Ir. Akbar Tandjung, H. Dadang Sukandar dan Winfried Simatupang bersalah bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur di dalam Pasal 1 ayat (1) sub. b. jo. Pasal 28 jo. Pasal 24 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke I KUHP dalam dakwaan Primair dengan pidana Akbar Tandjung empat tahun penjara, H. Dadang Sukandar tiga tahun penjara.

Semestinya putusan berbunyi ".... terbukti dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana didakwakan Penuntut Umum .... dan seterusnya.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam Putusannya tanggal 4 September 2002 Nomor 449/PIDB/2002/PNJKT.PST menjatuhkan pidana kepada Ir. Akbar Tandjung dengan pidana penjara selama tiga tahun, terdakwa II H. Dadang Sukandar dan terdakwa III Winfried Simatupang dengan pidana penjara masing-masing 1 tahun dan 6 bulan dan denda masing-masing Rp 10.000.000,00 subsidiair tiga bulan kurungan.

Dalam putusan kasasi penasihat hukum membantah adanya Concursus Realis seperti tersebut di muka, tetapi menyebut adanya perbuatan berlanjut (Voortgezette Handeling) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) KUHP (halaman 59 putusan MA). Ini pun tidak benar karena jika demikian, sebelum Ir. Akbar Tandjung menyerahkan cek kepada H. Dadang Sukandar dan Winfried Simatupang sudah merupakan tindak pidana, yang konsekuensinya akan menyeret BJ. Habibie, Haryono Suyono, Rahadi Ramelan melakukan tindak pidana. Mahkamah Agung setuju dengan pendapat Prof. Dr. Jur Andi Hamzah yang menyatakan bahwa sebelum Akbar Tandjung atau pada waktu Akbar Tandjung menerima cek, belum terjadi tindak pidana; baru setelah tidak membeli sembako terjadi tindak pidana, lengkapnya kalimat putusan Mahkamah Agung sebagai berikut.

"Menimbang bahwa pendapat Mahkamah Agung tersebut sesuai pula dengan pendapat saksi ahli Prof. Dr. Jur Andi Hamzah, S.H. yang berpendapat bahwa terhadap kasus ini apabila uang dari Bulog tersebut baru sampai ke tangan terdakwa I, belum ada tindak pidana dan baru ada tindak pidana setelah uang diserahkan kepada terdakwa lainnya yang ternyata tidak digunakan sebagaimana semestinya."


 

Pendapat inilah yang diambil sebagai salah satu alasan Mahkamah Agung membebaskan Akbar Tandjung dari dakwaan.

Jalan pikiran Mahkamah Agung seperti keterangan Prof. Dr. Jur Andi Hamzah bahwa sesungguhnya terdakwa II H. Dadang Sukandar dan terdakwa II Winfried Simatupang itu melakukan penggelapan Pasal 372 KUHP (halaman 136 putusan Mahkamah Agung). Namun, yang tidak dikutip oleh Mahkamah Agung ialah keterangan Prof. Dr. Jur Andi Hamzah di depan Pengadilan Negeri ialah seharusnya terdakwa Ir. Akbar Tandjung tidak didakwa medeplegen dengan Dadang Sukandar dan Winfried Simatupang melakukan delik korupsi Pasal 1 ayat (1) sub. b Undang-Undang No. 3 Tahun 1971, tetapi Pasal 415 KUHP jo. Pasal 1 ayat (1) sub c Undang-Undang No. 3 Tahun 1971, yaitu "Pegawai Negeri" tetap atau sementara menggelapkan uang atau kertas berharga uang yang disimpan karena jabatannya atau menolong atau membiarkan orang lain (maksudnya bukan Pegawai Negeri) menggelapkan uang tersebut.

Maksudnya perkara dipisah, yang pertama didakwa Pasal 415 KUHP jo Pasal 1 ayat (1) sub. c Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 yang memungkinkan perbuatan tersebut dilakukan dengan Omission atau Nalaten (membiarkan orang bukan pegawai negeri untuk menggelapkan uang negara sebesar Rp40.000.000.000,00.

Mahkamah Agung menyatakan terdakwa II dan terdakwa III terbukti secara sah dan meyakinkan telah bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama.

Hal lain yang tidak perlu disebut oleh Mahkamah Agung ialah penyebutan Pasal 51 KUHP (perintah jabatan yang sah) karena penggunaan ketentuan itu berarti terjadi tindak pidana, tetapi ada dasar pembenar, yang putusannya akan menjadi "lepas dari segala tuntutan hukum."

Alasan pembenaran Akbar Tandjung ialah kedua terdakwa lain yang tidak membeli sembako baru terjadi tindak pidana. Memang tidak ada dalam dakwaan dan tidak terbukti adanya persetujuan Akbar Tandjung untuk tidak usah membeli sembako, juga tidak ada bukti adanya uang atau rekening yang mengalir kembali ke kantong Akbar Tandjung sebagai bagian dari perbuatan medeplegen.

Penyebutan Pasal 51 KUHP tidak serasi dengan alasan pembebasan tersebut, seharusnya putusan berbunyi "andai kata terjadi tindak pidana pada saat Akbar Tandjung menerima uang tersebut, dia tidak dapat dipidana berdasarkan Pasal 51 KUHP karena merupakan perintah jabatan yang sah" (perintah Presiden BJ. Habibie).

Suatu saran ialah agar jaksa jangan terpaku hanya pada Pasal 2 dan 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1979 (dulu Pasal 1 ayat (1) sub. a dan sub. b Undang-Undang No. 3 Tahun 1971) saja sebagai delik korupsi, tetapi juga pasal-pasal asal KUHP yang ditarik menjadi delik korupsi harus diperhatikan.

Latihan pembuatan surat dakwaan harus ditingkatkan. Dalam kasus yang sangat penting dan sulit seperti kasus Akbar Tandjung, seharusnya kejaksaan membuat tim ahli untuk meneliti konsep surat dakwaan dan mencocokkan dengan rumusan delik dan asas-asas hukum pidana sebagaimana dilakukan pada penyusunan dakwaan kasus bom Bali. Dengan demikian pasa suatu saat nanti tidak ada lagi dakwaan jaksa yang gagal memengkan gugatannya dikarenakan kurang cakapnya jaksa dalam membuat dakwaan, atau bukti-bukti yang diajukan jaksa tidak dapat dibuktikan atau lemmah. Kasus yang paling aktual tentunya kasus "raja Kayu" Adelin Lies yang dibebaskan pengadilan negeri disebabkan pembuktian jaksa kurang bisa dibuktikan. Semoga kasus serupa tidak terjadi lagi di negeri ini dan huku dapat ditegakkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar